Minggu, 14 Desember 2008

RUU Perlindungan Saksi, Pembatasan Definisi Saksi Mendistorsi Esensi

. Minggu, 14 Desember 2008

Jumat, 30 Juni 2006

RUU Perlindungan Saksi
Pembatasan Definisi Saksi Mendistorsi Esensi

Jakarta, Kompas - Sejumlah lembaga swadaya masyarakat yang tergabung Koalisi Perlindungan Saksi menilai materi Rancangan Undang-Undang Perlindungan Saksi yang dibahas Komisi III DPR sejak Februari 2006 lalu terdistorsi dari semangat awal. Distorsi dengan pembatasan definisi saksi dan juga pembatasan jenis tindak pidana untuk perlindungan saksi dan korban berpotensi menjadikan undang- undang tersebut sebagai peraturan yang "mandul".

Hal itu disampaikan dalam jumpa pers Koalisi di Ruang Wartawan DPR, Kamis (29/6) siang. Hadir dari Koalisi Perlindungan Saksi itu antara lain Taufik Bashari, Wahyu Wagiman, Emerson Yuntho, Arif Hidayat, Hambali, dan Deliana Ismudjoko.



Wahyu dari Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) menunjukkan, perkembangan pembahasan RUU menghasilkan definisi saksi sebagai orang yang dapat memberikan keterangan guna penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang perkara pidana yang didengar, dilihat, atau dialami sendiri. Definisi itu sangat terbatas dan tidak mengakomodasi pihak pelapor atau pengadu dan juga tidak pula mencakup pengertian saksi ahli.

Emerson Yuntho dari Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebutkan, sepanjang 2002- 2005 terdapat 19 kasus dengan saksi pelapor justru dilaporkan balik dengan delik pencemaran nama baik.

Selain itu, Koalisi juga mempersoalkan kemungkinan saksi atau korban yang tidak mendapat perlindungan dan bantuan akibat pembatasan jenis tindak pidana untuk program perlindungan saksi dan korban. Program perlindungan hanya bagi saksi dan/atau korban terkait tindak pidana terorisme, pelanggaran hak asasi manusia yang berat, korupsi, pencucian uang, penyalahgunaan narkotika dan psikotropika, serta perdagangan orang dinilai Koalisi tidak mencukupi, termasuk di antaranya berpotensi melanggengkan diskriminasi terhadap perempuan. Ketentuan kualifikasi saksi dan korban yang ketat pada akhirnya tidak akan mengganggu keuangan negara saat program perlindungan dijalankan.

Taufik menekankan, idealnya materi RUU mencakup hal yang luas untuk seluruh hal yang terkait dengan perlindungan saksi dan korban. Pembatasan yang terjadi mendistorsi semangat awal pembuatan undang-undang. Yang dikhawatirkan, materi RUU berkutat pada soal teknis namun esensinya justru hilang. (dik)

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0606/30/Politikhukum/2771570.htm

0 komentar:

:)) ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} :)] ~x( :-t b-( :-L x( =))

Posting Komentar

Terima Kasih Tas Komentar Anda

 

Artikel Terkait


© Copyright 2008. www.arifhidayat.com. All rightsreserved | www.arifhidayat.com is proudly powered by Blogger.com | Template by o-om.com