Minggu, 14 Desember 2008

Membangun Integritas di DPR, Menggunung atau Terkikis Habis?

. Minggu, 14 Desember 2008

Repoter :Sutta Dharmasaputra

Pada suatu sore, tepatnya Jumat, 23 Juni 2006, Ketua Badan Kehormatan DPR Slamet Effendy Yusuf secara tidak sadar telah membuat gebrakan baru. Ketika ditemui Sekjen Tiga Pilar Kemitraan Ai Mulyadi Mamoer, tanpa omong panjang lebar dia langsung mendukung gerakan moral penandatanganan Pakta Integritas anti-KKN.

Menanggapi antusiasme itu, dua pekan berikutnya, Tiga Pilar Kemitraan pun langsung menyodorkan piagam Pakta Integritas beserta modulnya kepada Slamet. Dalam acara sederhana, hanya disaksikan sejumlah staf dan beberapa wartawan DPR, Slamet langsung menandatanganinya, 7 Juli 2006, di atas kertas bermeterai Rp 6.000.

Saya, Slamet Effendy Yusuf, anggota DPR RI dalam rangka berpartisipasi memperbaiki masa depan kehidupan bangsa, menyatakan sebagai berikut: Menggunakan segala potensi yang saya miliki untuk proaktif mencegah terjadinya korupsi dan praktik suap di DPR RI dan tak melibatkan diri dalam perbuatan tercela, demikian satu butir dari enam butir isinya.

Ketika ditanya apa yang membuat dirinya terdorong melakukan itu, Slamet, anggota DPR Partai Golkar (Jateng VIII) itu, hanya menjawab, Saya ingin agar ini bisa jadi snow bowling, bola saju yang bergulir dan membesar.

Tapi, niatan itu sepertinya mulai menjadi kenyataan. Sebelas hari kemudian, muncul gelombang berikutnya yang lebih besar, yang dilakukan sembilan anggota DPR, yang berkumpul di ruang kerja Wakil Ketua MPR AM Fatwa (Partai Amanat Nasional/Jabar). Arbab Paproeka (PAN/Sulawesi Tenggara), Benny K Harman (Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia/NTT I), Mutammimul’ula (Partai Keadilan Sejahtera/Jateng V), dan Saifullah Ma’shum (Partai Kebangkitan Bangsa/Jatim V) menandatangani Pakta Integritas pada 18 Juli 2006.

Empat anggota lain ikut bergabung, yaitu Agus Purnomo, Azlaini Agus, Patrialis Akbar, dan Refrizal. Tapi, karena mereka ini datang mendadak, giliran dari Tiga Pilar yang tidak siap. Pakta Integritas yang harus ditandatangani belum disiapkan.

Sampai kemarin, menurut Koordinator Anti Korupsi Masyarakat Transparansi Indonesia, Arif Hidayat, ada enam anggota Dewan lain yang menyatakan kesiapan, yaitu Abdi Sumaithi, Ali Mochtar Ngabalin, Azis Syamsuddin, Hidayat Nur Wahid, Lukman Hakim Saifuddin, dan Nursyahbani Katjasungkana . Munculnya 16 anggota Dewan ini paling tidak menunjukkan, gerakan moral untuk membangun pulau integritas di Senayan telah bergulir. Soalnya, beberapa bulan sebelumnya, tepatnya 17 Mei 2006, Tiga Pilar Kemitraan juga mengajak Ketua DPR Agung Laksono melalui surat No 178/3pK/V/2006. Tapi, ajakan itu tak mendapat respons. Tiga Pilar juga mengirim surat kepada tiga pengurus partai politik, yaitu Ketua Umum DPP Partai Golkar, Ketua Umum DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, dan Presiden Partai Keadilan Sejahtera. Tapi, seperti halnya surat kepada Ketua DPR, hasilnya juga nihil. Belum ada partai yang merespons, ujar Arif Hidayat.

Pulau integritas Senayan

Tiga Pilar Kemitraan adalah koalisi penyelenggara negara, dunia usaha, dan masyarakat madani yang berupaya mencegah dan memberantas korupsi di Indonesia. Koalisi ini dibentuk 27 September 2002 oleh Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara, Kadin Indonesia, dan Masyarakat Transparansi Indonesia.

Konsep operasional gerakan ini adalah membangun pulau- pulau integritas, utamanya dengan penerapan modul Pakta Integritas, serta berbagai modul pencegahan korupsi.

Tujuan digalakkannya Pakta Integritas di DPR adalah menjaga integritas parlemen sehingga mampu menjalankan fungsi legislasi yang transparan, fungsi anggaran yang pro-poor atau pro-publik, serta pengawasan yang mengacu akuntabilitas.

Anggota DPR yang menandatangani Pakta Integritas harus melaksanakan Modul Pakta Integritas; mengajak anggota DPR lain menandatangani piagam; melaksanakan kode etik DPR; mendorong forum pemantau independen; melindungi saksi yang menyampaikan penyimpangan pelaksanaan Pakta Integritas; serta bersedia menanggung segala konsekuensinya bila melanggar Pakta Integritas.

Pada modul itu juga dirinci berbagai keharusan anggota Dewan untuk jujur tanpa mengorbankan prinsip kepatutan atas kerahasiaan; menguji tindakannya dengan bertanya pada hati nurani; mengikuti prinsip- prinsip obyektivitas dan kehati-hatian; konsisten melaksanakan kode etik; menghindari benturan kepentingan; serta melindungi saksi yang menyampaikan penyimpangan Pakta Integritas di Lingkungan DPR.

Mereka juga harus bersedia dipantau forum pemantau independen. Pada halaman 12 modul ditegaskan, pemantau mendapatkan hak akses kepada sumber-sumber informasi di lingkungan DPR. Forum juga berwenang menyampaikan temuannya ke Ketua Badan Kehormatan DPR, Pimpinan DPR, atau pihak lain, seperti KPK, kepolisian, dan kejaksaan.

Respons DPR terhadap Pakta Integritas ini terlihat lebih tinggi dibandingkan respons dari pihak eksekutif. Hingga kini baru Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Taufiq Effendi yang menandatangani, yaitu 9 Desember 2005. Padahal, sudah banyak departemen yang ditawarkan, seperti Bappenas, Departemen Pendidikan Nasional, hingga Departemen Keuangan.

Pada 1 Agustus 2006, akan ada dua menteri yang bergabung, yaitu Menteri Pertanian Anton Apriyantono serta Menteri Komunikasi dan Informatika Sofyan A Djalil. Sementara itu, pejabat eksekutif di daerah yang menandatangani Pakta Integritas baru Bupati Solok. Sebelumnya, kata Arif, Wali Kota Bekasi pun turut bergabung, tapi kemudian menarik diri setelah menerima modul. Kepala daerah memang belum menjadi fokus gerakan yang sementara masih terfokus di pusat, kata Ai Mulyadi.

Modul untuk eksekutif hampir sama dengan modul legislatif. Modul ini pun mengacu ke sejumlah UU Pemberantasan KKN, seperti UU No 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN, serta Instruksi Presiden No 5/2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi.

Di dalam modul untuk Menneg PAN, misalnya, disebut berbagai komitmen dan langkah untuk mencegah dan memberantas korupsi, mulai dari larangan menerima/memberi sesuatu yang bersifat koruptif sampai pengaturan pengadaan barang/jasa yang bebas KKN.

Sementara itu, untuk dunia usaha, yang disebut Pakta Anti Suap Dunia Usaha, belum ada yang menandatangani. Isinya, antara lain, kesiapan dunia usaha untuk mengakhiri praktik suap, menjaga etika usaha, tidak merusak tatanan ekonomi dan tatanan bisnis yang sehat; merusak moral serta merendahkan martabat bangsa; serta menyengsarakan kehidupan rakyat.

Masalahnya sekarang, bagaimana pakta itu dilaksanakan. Buat 16 anggota DPR yang sudah bergabung, misalnya, apakah mereka bisa menjalankan apa yang tertuang dalam modul itu. Terlebih kini ada segudang kritikan masyarakat yang diarahkan ke DPR, seperti praktik percaloan di DPR, pembahasan rancangan UU yang tertutup atau pembahasan di hotel mewah, ketidakpedulian pada konstituen, dan sederet praktik tercela lain. Kinerja merekalah yang akan menentukan gerakan moral ini akan terus bergulir atau malah terkikis habis.

Sumber: Kompas, 26 Juli 2006

0 komentar:

:)) ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} :)] ~x( :-t b-( :-L x( =))

Posting Komentar

Terima Kasih Tas Komentar Anda

 

Artikel Terkait


© Copyright 2008. www.arifhidayat.com. All rightsreserved | www.arifhidayat.com is proudly powered by Blogger.com | Template by o-om.com