Minggu, 14 Desember 2008

LSM Dorong Hakim Ad Hoc Pengadilan Korupsi Sidang Sendiri

. Minggu, 14 Desember 2008

Jika dilakukan, Harini Wijoso dan Pono Waluyo punya peluang besar untuk bebas dalam pengadilan tingkat berikutnya.

Selisih pendapat perihal pemanggilan Ketua Mahkamah Agung (MA) Bagir Manan sebagai saksi yang mengakibatkan tertundanya sidang perkara Harini Wijoso dan Pono Waluyo membuat geregetan beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Beberapa LSM itu diantaranya Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI), Indonesia Procurement Watch (IPW), Transparansi Internasional (TI) dan Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN).

Dalam konferensi pers, Kamis (1/6), mereka menuding penolakan ketua majelis hakim Kresna Menon atas permohonan penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi untuk menghadirkan Bagir sebagai bentuk esprit de corps untuk melindungi atasan.

Selain itu, mereka mengecam indikasi intimidasi yang dilakukan oleh salah satu hakim agung dalam proses pemanggilan hakim tindak pidana korupsi (Tipikor). Seperti diketahui, Selasa (30/5) lima majelis hakim tipikor dipanggil oleh Mariana Sutadi, Wakil Ketua MA Bidang Yustisial. Dalam konferensi persnya Rabu (31/5), Mariana berharap kelima hakim melanjutkan persidangan.

Dalam kesempatan itu, Mariana menyesalkan terjadinya walk out dalam persidangan. Kendati demikian, Mariana mengaku pemanggilan kelima hakim tersebut tidak membicarakan substansi perkara, namun proses jalannya persidangan.

Sebagai solusi atas tertundanya sidang Harini yang terjadi lima kali, Arif Hidayat, Koordinator Anti Korupsi MTI mendorong tiga hakim ad hoc tipikor untuk menyelenggarakan proses peradilan kasus Harini tanpa kehadiran dua hakim karir apabila tidak ada penggantian ketua majelis hakim atau solusi lain dari MA.

Namun, berbeda dengan LSM tersebut, Emerson Yuntho, koordinator monitoring peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW) yang turut hadir dalam konferensi pers menyatakan langkah mendorong tiga hakim ad hoc untuk bersidang sendiri kurang tepat. Karena, pasal 58 ayat (2) Undang-Undang No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengatur persidangan dipimpin majelis hakim yang terdiri dari dua hakim karir dan tiga hakim ad hoc.

Masih menurut Emerson, memaksakan hakim ad hoc untuk bersidang sendiri akan berdampak hukum serius dalam perkara Harini dan Pono. “Legalitasnya harus kita perhitungkan,” tukas Emerson. Kesimpulannya, Harini dan Pono berpeluang besar untuk bebas dalam persidangan tingkat berikutnya jika langkah tersebut diambil. Menimpali pendapat Emerson, Muslich dari KRHN menyatakan ”Saat ini sulit sekali untuk mencari solusi dengan melakukan pendekatan hukum”.

Sementara itu, I Made Hendra Kusuma, salah satu hakim ad hoc juga tidak sependapat dengan usulan beberapa LSM tersebut. Sama seperti Emerson, Made berpendapat hukum acara dalam UU 30/2002 telah mengatur dengan jelas jika majelis hakim yang memimpin sidang pengadilan tipikor harus berjumlah lima orang.


Masa Pemeriksaan dan Penahanan

Masih menurut kalangan LSM, mereka mengaku khawatir molornya sidang Harini akan berakibat cacat hukumnya putusan jika melewati waktu yang ditentukan UU 30/2002. Mengingat pasal 58 UU 30/2002 mengatur perkara korupsi diperiksa dan diputus dalam waktu 90 hari kerja.

Berbeda dengan mereka, Zet Ta’dung Allo, salah satu penuntut Harini mengatakan 30/2002 tidak mengatur sanksi atau implikasi apapun jika pemeriksaaan telah melewati 90 hari masa kerja. ”Itu kan diatur untuk menjaga profesionalisme pengadilan sehingga azas pengadilan cepat, murah dan biaya ringan terpenuhi,” tukas Zet Ta’dung kepada hukumonline usai sidang Harini, Rabu (31/5).

Jika dihitung dari pelimpahan berkas Harini ke pengadilan sejak 9 Pebruari 2006, maka masa pemeriksaan akan habis pada 21 Juni 2006. Sedangkan untuk masa penahanan, menurut Khaidir Ramly, salah satu penuntut umum perkara Harini, masa penahanan Harini telah diperpanjang oleh Pengadilan Tinggi sampai 8 Juni 2006.

Tentang masa penahanan ini, pasal 29 KUHAP memang mengatur masa perpanjangan dapat diperpanjang lagi paling lama dua kali 30 hari. Untuk kasus Harini perpanjangan masa penahanan dari PT masih diberikan sekali. Artinya, penuntut umum KPK masih mempunyai kesempatan untuk memperpanjang masa penahanan 30 hari lagi. Penghitungan masa penahanan ini penting, pasalnya jika telah melewati maka Harini harus dilepaskan demi hukum.

(Aru)

http://hukumonline.com/detail.asp?id=14940&cl=Berita

1 komentar:

David Pangemanan mengatakan...

INI BUKTINYA : PUTUSAN SESAT PERADILAN INDONESIA

Putusan PN. Jkt. Pst No. 551/Put.G/2000/PN.Jkt.Pst membatalkan demi hukum atas Klausula Baku yang digunakan Pelaku Usaha. Putusan ini telah dijadikan yurisprudensi.
Sebaliknya, putusan PN Surakarta No. 13/Pdt.G/2006/PN.Ska justru menggunakan Klausula Baku untuk menolak gugatan. Padahal di samping tidak memiliki Seritifikat Jaminan Fidusia, Pelaku Usaha (PT. Tunas Financindo Sarana) terindikasi melakukan suap di Polda Jateng.
Sungguh ajaib. Di zaman terbuka ini masih ada hakim yang berlagak 'bodoh', lalu seenaknya membodohi dan menyesatkan masyarakat, sambil berlindung dibawah 'dokumen dan rahasia negara'. Lihat saja statemen KAI bahwa hukum negara ini berdiri diatas pondasi suap. Sayangnya moral sebagian hakim negara ini terlampau jauh terpuruk sesat dalam kebejatan.
Quo vadis Hukum Indonesia?

David
(0274)9345675

:)) ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} :)] ~x( :-t b-( :-L x( =))

Posting Komentar

Terima Kasih Tas Komentar Anda

 

Artikel Terkait


© Copyright 2008. www.arifhidayat.com. All rightsreserved | www.arifhidayat.com is proudly powered by Blogger.com | Template by o-om.com