Senin, 01 September 2008

TEROR

. Senin, 01 September 2008

Bombastis, kata diatas seakan menjadi aikon tersendiri dalam sebuah pertarungan kepentingan. Hitam putih kebenaran menjadi semu bahkan dibuyarkan oleh seabrek retorika yang menggiring kita untuk tidak memahami diri sendiri. Perdana diawal abad millenium, tragedi WTC menghentakkan umat manusia dijagat ini akan sebuah sindrom baru terorisme. Tidak ada pangkal yang berujung permainan dan aktor teroris ini semakin bias dikala kepentingan negara adidaya memegang peran untuk menggulirkan opini yang lebih luas. Tergiring dalam deretan korban dan opini teroris ini, negara yang berpendudukan muslim menjadi incaran pasti akan sebuah skenario sebagai kambing hitam dalam kancah peperangan abad Millenium ini.

Tatkala teror menjadi sebuah kondisi yang diciptakan, efeknya akan menjalar bagaikan topan yang berhembus kencang. Masih terhenyak dalam ingatan kita tragedi Bali melahirkan sindrom baru akan identitas Indonesia yang makin terpuruk.
Dalam kasat mata, teror acapkali membawa pola pikir kita akan suasana hati yang tidak menentu, sudah tentu penyebabnya adalah hal – hal negatif yang senantiasa akan merugikan diri pribadi, kelompok, masyarakat maupun negara. Teror merupakan sebuah fenomena baru didalam gonjang – ganjing ketidakpastian masa depan negeri ini. Teror BOM senantiasa menghiasi lembaran – lembaran media sebagai berita utama. Tanpa disadari kita malah melepaskan diri akan makna positif dari sebuah teror.
Bukanlah berita jika negara kita tidak tidak bergumul dalam konspiransi KKN yang sangat meneror. Teror KKN malah dianggap sebuah angin lalu yang acapakali tidak akan menimbulkan rasa takut sama sekali, malah teror tersebut dianggap sebuah gonggongan kegilaan. Berpacu dengan kebijakan, Desentralisasi yang baru dijalankan ternyata melahirkan teror baru bagi masyarakat, teror tersebut masa depan mereka yang makin tidak jelas. Kita sudah mengetahui otak dari penyebab teror ini, namun masyarakat hanya pasra dengan kelakuan para pejabat lokal yang menganggap anggaran pembangunan adalah sah digunakan untuk kepentingan pribadi dan kroninya. Sungguh menyakitkan masyarakat semakin terteror dengan seabrek kebijakan yang makin mempersempit ruang gerak partisipasinya.
Teror terhadap pejabat akan keterlibatannya melestarikan KKN ternyata tidak bermakna apa – apa, lahirlah rasa frustasi dari beberapa komponen masyarakat yang selama ini berusaha memperkecil ruang gerak KKN oleh pejabat. Bahkan ajaran agamapun tidak dianggap teror akan kelakuan pejabat – pejabat saat ini, lembaran wahyu hanya dianggap sebagai makna yang tidak perlu dimaknai, cukup sebagai pelengkap untuk mengkampayekan program ketika jabatan tersebut belum diaraihnya.
Selangkah lagi, bulan suci Ramadhan menjadi bagian hidup ini, seharusnya bulan ini dapat meneror kita untuk bisa memaknai ajaran yang telah diturunkannya. Pejabat yang telah memegang kekuasaan seharusnya menyadari bahwa itu hanyalah amanat semantara yang harus diwujudkan dengan pengabdian kepada masyarakat. Bukan sebaliknya apa yang terjadi saat ini, bahwa masyarakat yang mengabdi pada pejabat.
Ada yang lebih dahsyat dari teror BOM selama ini, yaitu teror kepentingan pejabat yang membuyarkan masa depan rakyatnya. Seharusnya itu yang harus menjadi kesadaran kolektif kita, bahwa dana yang diamanatkan seharusnya sampai kepada masyarakat. Bukan sebaliknya berputar pada lingkungan kronisme para penentu kebijakan.
Sungguh naif jika kita terus terlarut dalam wacana teror BOM yang selama ini menyelimuti kita, ada baiknya kita mulai meneror pejabat – pejabat yang mengeruk uang rakyat demi kepentingan mereka. Bukankah itu lebih baik agar tercipta good government dari pusat sampai daerah ? dan seharusnya itu menjadi kewajiban kita untuk meluruskan penyalahgunaan kepentingan yang selama ini dijalankan oleh pejabat – pejabat negara.
Tidak cukup dengan hanya berdoa mengharapkan bantuan dari langit untuk bisa melihat perilaku pejabat negara ini untuk berubah, reformasi diharapkan menghasilkan perubahan besar namun nyatanya makin terpuruk dalam perilaku yang tidak terpuji. Partisipasi masyarakat untuk mau meneror pejabat-pejabat yang melakukan KKN merupakan bentuk nyata untuk mendukung reformasi tersebut, sudah tentu teror yang digunakan masih dalam kerangka hukum yang mengedepankan pembuktian, Bukan berdasarkan asumsi dan kepentingan.
Seharusnya pejabat – pejabat negara ini mau membuka hati bahwa Bulan suci Ramadhan ini akan menjadi teror yang perlu ditakuti, sudah tentu hasil yang diharapkan adalah perubahan perilaku untuk menjadi lebih baik dari sebelumnya. Bukan malah dengan semangat mengambil apa yang menjadi hak rakyat.

Bandung, 1 November 2002
Arif Hidayat

0 komentar:

:)) ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} :)] ~x( :-t b-( :-L x( =))

Posting Komentar

Terima Kasih Tas Komentar Anda

 

Artikel Terkait


© Copyright 2008. www.arifhidayat.com. All rightsreserved | www.arifhidayat.com is proudly powered by Blogger.com | Template by o-om.com