Tragedi kemanusiaan mengiringi langkah bangsa ini memasuki AFTA 2003, yang didapatkan hanyalah ketertinggalan dan malah akan semakin terpojokkan dengan persaingan regional serta global. Berkaca pada Indonesia kita masih bersedih dengan kenyataan yang ada, lebih parah lagi jika kita berkaca pada Sumbawa, maka tangisan itu makin menjadi – jadi. Tragedi yang terjadi dalam lingkup Indonesia diakibatkan oleh Terorisme, civil war serta bencana alam seperti meletusnya gunung Papandayan yang berdekatan dengan Kota Bandung. Sekelumit pengharapan untuk menjadi lebih baik dari do’a – do’a mukmimin dan mukminah senantiasa dipanjatkan untuk menyelamatkan masa depan bangsa ini. Usaha dan Tawaqal senantiasa menjadi bagian yang seharusnya tidak terpisahkan untuk mengubah keadaan yang ada. Sentuhan tawaqal semata tanpa usaha niscaya diibaratkan menunggu durian runtuh. Kita harus bergerak dengan kemampuan kaki dan tangan ini untuk bisa mengubah keadaan yang ada. Sikap apatis dengan hanya melihat perubahan itu bergulir sendiri niscaya akan menciptakan ruang waktu tentang siapa yang harus memulai perubahan yang diinginkan.
Bukan sebatas sinyelemen yang berkembang di Sumbawa ketidakpuasan kinerja Bupati Sumbawa bukan hanya didengungkan oleh rekan –rekan reformis melainkan juga oleh para praktisi serta warga Sumbawa yang masih melihat Sumbawa secara jernih dengan qolbu. Bali menangis karena guncangan Bom yang menewaskan anak manusia ratusan orang, kini Sumbawa menangis karena generasi disusupi oleh pikiran ego sektoral untuk kepentingannya masing – masing. Proses brainstorming ini dilakukan dalam tiga tahun terakhir ini guna mempermulus rencana untuk menguasai aset Sumbawa oleh koncoismen Bupati Sumbawa. Reformasi diartikan sebagai birokrasi upeti, siapapun yang ingin meningkatkan jenjang karier di Pemerintahan Sumbawa maka ia harus menyerahkan upeti pada pos – pos yang telah ditentukan oleh penguasa tertinggi Sumbawa. Skenario penempatan orang – orang nya pada pos – pos strategis telah berjalan dua tahun terakhir ini. Maka pada tahun ini dan kedepan sudah tentu buah strategi tersebut mulai dipanen dengan mulusnya. Belum lagi pada pertarungan untuk mengangkat identitas daerah sebagai basis investasi, birokrasi sengaja diciptakan untuk mempersulit investor yang masuk yang sudah tentu goal yang diharapkan adalah prosentase dari nilai investasi yang akan ditanamkan. Sungguh ajaib permainan ini semakin diamimi oleh masyarakat Sumbawa yang beridentitas muslim, terutama dilingkungan Pemda Sumbawa. Kehilangan identitas sebagai pelayan masyarakat sama sekali tidak menyentuh paradigma berpikir ditingkat Birokrasi. Malah sebalik makin menancapkan diri sebagai penguasa yang patut ditakuti karena terornya bukan dihargai karena kebijakannya.
Rutinitas hukum alam sengaja dilanggar demi kepuasan duniawi yang hanya sebagai jembatan kehidupan, yang cukup mengherankan kemana nurani pemimpin Sumbawa ini diletakkan, apa tidak melihat kenyataan sebenarnya yang terjadi di masyarakat ? atau dengan sengaja membutatulikan nuraninya dengan kenyataan sebenarnya ? ( mudah-mudahan tidak menjadi buta dan tuli betulan ).
Sangat sulit untuk mendesiskan rasa penghargaan terhadap apa yang telah dihasilkan selama tiga tahun terakhir ini, makin gamang tak menentu kemana sebenarnya Sumbawa akan dijerumuskan. Seharusnya Bupati Sumbawa malu dengan apa yang telah diperbuat oleh Investor yang telah ada khususnya PT. Newmont Nusa Tenggara. Royalti yang ada ternyata tidak menampakkan hasil yang berarti bagi pembangunan Sumbawa, yang dibanggakan hanyalah jumlah dari Royalti tersebut namun masih semu dalam fakta dari Royalti tersebut. Seharusnya Bupati bisa melihat seberapa besar perubahan yang terjadi dilingkar Tambang, pembangunan fisik merupakan bukti kontribusi itu terus dikembangkan oleh PT. NNT, sedangkan hasil dari Bupati hanya polemik proyek yang tidak ada habis – habisnya. Sampai – sampai tuyulpun bingung mencari kemana larinya Royalti dari Pertambangan di Benete tersebut. Yang ada dalam pikiran hanyalah Fulus dan selanjutnya fulus. Etika dan moralitas apakah yang telah merasuki penguasa Sumbawa saat ini ? nauzubillah……
Tragedi yang terjadi di Sumbawa akan sangat lama untuk disembuhkan jika sejak dini tidak dilakukan tindakan preventif. Dampak tragedis yang bisa ditimbulkan oleh perilaku penguasa saat ini adalah racun berpikir, ini akan memerlukan beberapa generasi untuk bisa menstrilkan pada rel yang seharusnya. Pikiran digiring pada fokus penebalan kepentingan pribadi dengan menyingkirkan kepentingan rakyat. Batasan antara salah dan benar sengaja dibiaskan dengan kondisi tahu sama tahu yang pada akhir segala perilaku apapun yang dilakukan akan mendapat pembenaran pada kelompok strukutural mereka. Lambat laun loyalitas sektoral menjadi lebih penting untuk melindungi sesama anggota korps dibandingkan harus mengedepankan salah benarnya tindakan yang dilakukan.
Seharusnya kenyataan yang terjadi di Sumbawa dengan penyelewengan dan penggunaan wewenangan yang semena –mena menjadi gerakan bersama komponen Sumbawa untuk menstrilkan pemerintahan saat ini. Didepan kita Government otoritarisme dapat dijadikan target bersama untuk mengembalikan Sumbawa pada jalan yang lurus. Sederet peluang dapat dilakukan oleh individu maupun kelompok guna menumbangkan otoritas ini, diantara mengumpulkan bukti – bukti KKN yang selanjutnya diajukan kemeja Hijau. Bukan tak mungkin langkah LSM GEMPUR yang mempersoalkan pembabatan hutan lindung yang dilakukan oleh kroni Latif Majid akan membuka tabir yang lebih besar terhadap penyelewengan selama ini. Kita masih berharap pada hukum karena negara kita masih menganut hukum…..jika tidak bisa jadi gerakan rakyat tanpa batasan hukum yang akan berbicara……..! bukankah kita tidak menginginkannya ?
Menangislah Sumbawa, sebelum kau ditertawi oleh tetanggamu karena kau menyantuni penyamun dirumahmu……
Bandung, 20 November 2002
Arif Hidayat
0 komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih Tas Komentar Anda