Kamis, 31 Juli 2008

Romantisme Masa Lalu

. Kamis, 31 Juli 2008

Menghangatnya perdebatan tentang wilayah Teritorial Sumbawa Barat adalah kenyataan yang harus kita pahami sebagai perkembangan Demokrasi dalam era Reformasi ini.
Berbagai tesis dimunculkan sebagai bentuk adu argument untuk meyakinkan penentu kebijakan akan masa depan Sumbawa. Seperti halnya tawaran pemikiran yang dicetuskan DR. Idrus Abdullah, S.H. Magister, menawarkan asfek geobudaya Kamutar Telu ( De Drie kerajaan tiga ). Menurut Dr. Idrus Kemutar telu yang terdiri dari wilayah Kecamatan Seteluk, Taliwang, Berang Rea, Jereweh dan Sekongkang merupakan wilayah terintegral kedalam pengertian “Kemutar Telu” artinya bahwa konsep “Kemutar telu” secara sosio kultural merupakan wilayah yang terbangun dalam kurun sejarah yang sama, sehingga menjadi beralasan apabila secara geografis wilayah satu dengan wilayah lainnya tidak dapat dipilah-pilah, ditambah, ataupun dikurangi, karena ia merupakan satu kesatuan yang utuh baik secara politik maupun hukum. Dan sangat logis jika Sumbawa Barat hanya mencakup kelima kecamatan tersebut.


Mengurut pada romantisme sejarah kemutar telu merupakan tiga kerajaan yang bernaung di bawah kerajaan Sumbawa meliputi Taliwang, Seran ( Seteluk ), dan Jereweh. Kemutar telu yang berada di wilayah barat kabupaten Sumbawa muncul ketika expansi kerajaan Bali Karangasem ke kerajaan Selaparang ( Lombok ) tahun 1641.

Meredupnya konsep Kemutar telu sebagai pendekatan pemekaran wilayah disebabkan oleh sistem pendekatan yang digunakan saat ini, yang lebih kongret dan objective dari rencana para penggagas sekitar dua tahun yang lalu.

Apa yang diungkapkan oleh Daeng Ewan selaku ketua Dewan pertimbangan Otonomi Daerah ( DPOD ) dan ketua Lembaga Adat Sumbawa diharian Kompas awal-awal Juni lalu, bahwa dalam mengapresiasikan sejarah harus berhati-hati, termasuk kemutar Telu sebagai bagian sejarah. Malah secara Historis Kemutar telu terjadi jauh sebelum gunung tambora meletus, tahun 1815. “Kemutar Telu cocok pada zamannya”. Tetapi setting, orientasi dan realitas masyarakat sekarang amat berbeda,” ungkap Daeng Ewan. Masyarakat Sumbawa Barat agaknya paham betul bahwa pranata adat dan sosial semasa Kemutar Telu mustahil diterapkan pada era globalisasi disegala bidang, dimana batas antar negara nyaris kian kabur oleh kemajuan tekhnologi informasi dan komunikasi. Kendati demikian, dalam batas tertentu aturan-aturan semasa kesultanan itu bisa saja ‘hidup berdampingan’ dengan situasi kekinian. Katakanlah ‘Delapan kewajiban’ atau ‘Sonap Lawang Blau Balu ( melalui pintu delapan ) wujud kemutar telu bernaung dibawah kekuasaan kerajaan Sumbawa. Satu diantaranya adalah membuat atau mengerjakan bendungan dan selokan bersama raja, dari ( Desa ) Mata hingga ( Desa ) Sekongkang. Desa Mata merupakan wilayah selatan Kecamatan Empang, atau Timur Sumbawa Besar, dan Desa Sekongkang berada di Barat Sumbawa Besar. Hal ini mengindikasikan susah-senang, berat ringan suatu pekerjaan, termasuk produksi sumber daya alam jadi milik bersama, itu dipertegas lagi dalam ujaran tumpan aeng-aeng tu tumpan nan tubaeng. Artinya orang yang menjumpainya ialah yang memiliki. Ungkapan itu menunjukkan pada kepemilikan tanah, tempat atau lokasi tempat tinggal. Lahan temuan untuk bertani, berkebun dan berladang itu biasa ditandai dengan menanam pohon atau menggantung batu asah, guna menghindari klaim orang lain atas tanah itu. “ sedang luas-sempitnya dan besar kecilnya penguasaan tanah adalah sedalam cangkul masuk ketanah, dan sisanya menjadi kepunyaan bersama ( hak ulayat ),” ujar Daeng Ewan.

Senada juga diungkap oleh Syaifuddin Iskandar di Harian Kompas, seharusnya janganlah membangkitkan romantisme masa lalu sebagai pembenaran aktivitas politis. Biarlah masa lalu itu bagian dari sejarah. Kita pahami sejarah itu untuk membangun Sumbawa ke Depan. Orientasi yang dikembangkan mestinya, siapa saja yang lahir, dan berdomisili di Sumbawa adalah etnis Samawa, kemudian menghormati tatanan adat dan budaya samawa dalam kehidupan normal. “Pemekaran wilayah pada dasarnya berpisah secara administratif demi efektivitas dan efesiensi pelayanan publik. Meski berpisah secara teritorial, tetapi kami tetap satu etnis, etnis samawa, “ ungkap Syaifuddin.

Pendekatan Kemutar Telu sebagai Solusi Pemekaran yang ditawarkan oleh Dr. Idrus mendapat reaksi dari berbagai pihak, termasuk dari komponen yang berada di Wilayah Kemutar Telu itu sendiri. Apa yang diungkapkan oleh H. Muhksim Hamim tokoh dari Seteluk, berbicara Kemutar Telu bisa jadi kita akan mengingat romantisme lain seperti Kemutar empat yang teritorialnya lebih luas lagi. Pendekatan geobudaya itu tidak lagi cocok pada saat ini.

Romantisme Sejarah sebenarnya wajar dalam mengangkat wacana yang berkembang atas usaha pemekaran wilayah di Sumbawa, tapi itu belum cukup jika semua komponen hanya berpijak pada romantisme masa lalu tanpa melihat kondisi objective yang sebenarnya terjadi di Sumbawa.

Apa yang menjadi dasar analisis Komite pembentukan Kabupaten Sumbawa Barat bentukan Kyia Zulkifli melihat dalam persfektif dari kesamaan pandangan diantara komunitas yang ada diwilayah Sumbawa Barat. mereka melihat bahwa batas teritorial yang direkomendasi selama dua tahun ini ternyata tidak mampu memperoleh kesamaan pandangan di antara komunitas didalamnya baik dari segi urgensi pemekaran wilayah, aspirasi politik masyarakat, maupun aspek-aspek lain yang mendukung akselerasi daerah otonom baru. Merekapun melihat bahwa Tim pengkajian Komite Pemekaran kabupaten Sumbawa mempunyai kesalahan seperti dalam hal : Standar Skor minimal kelulusan, pendekatan pendataan, penerapan metodologi kajian, hasil analisis serta rekomendasi yang dikeluarkan.

Perbedaan pandangan tentang Komunitas Sumbawa Barat dari Utan sampai Sekongkang merupakan upaya wajar dalam mencari solusi terbaik bagi masa depan Sumbawa Barat. kita pun bisa beradu argumentasi tentang data-data yang disodorkan dan kenyataan dilapangan, asalkan argument didalam ruangan tersebut jangan dibawa keluar ruangan menjadi sebuah konflik horisontal. Masyarakat Sumbawa bisa melihat persoalan pemekaran Sumbawa dengan pikiran yang jernih, bukan melemparkan romantisme masa lalu yang disebabkan oleh lemahnya pemahaman kita terhadap sejarah, yang mengakibatkan biasnya substansi persoalan.

Apa yang menjadi dasar Komite bentukan Kyia ( KPKS ) terhadap persfektif komunitas dalam lingkup kesamaan tidak lain disebabkan oleh masing-masing pihak yang ada di Sumbawa Barat kurang menjalin komunikasi yang intens, sehingga dari satu sisi masing – masing pihak mempunyai ego sektoral yang cukup kuat. Miskomunikasi yang selama ini terjadi bukan di manage menjadi kesamaan persepsi untuk menggolkan Sumbawa Barat seperti rencana semula. Data yang ada merupakan masukan yang sangat berharga bagi penentu kebijakan di Sumbawa, sudah tentu KPKS menginginkan proposal mereka dipertimbangkan, Ustad Nur Yasin proposalnya juga dipertimbangkan, Proposal dari Tim Pengkajian Pemekaran Sumbawa juga diterima. Semua masukkan yang ada sudah tentu akan diputuskan secara proporsional oleh DPRD Sumbawa. Apa yang menjadi kenyataan selama ini tentang tarik ulur kepentingan Sumbawa Barat seperti yang diungkapkan oleh Hatta Taliwang Baru-baru ini di Bandung, “kondisi di Sumbawa seperti suasana perang”, pandangan ini cukup mengendurkan upaya kita untuk mencari solusi jika kondisi ini yang diciptakan.

Wacana geobudaya yang diangkat oleh KPKS tidak lain didasarkan oleh ketidakpuasan mereka melihat perilaku penentu kebijakan, ketidakmampuan elite birokrasi mengartikulasikasikan suara mereka. Ini harus menjadi pelajaran bagi penentu kebijakan di Sumbawa, apapun yang seiring sebelumnya berjalan akan bisa berbeda kepentingan kalau kepentingan yang disuarakan tidak secepatnya di respon. Hal positif berkembangnya wacana ini, tak lain Pemerintah dan DPRD Sumbawa bisa mengoptimalkan kinerjanya untuk menggodok kebijakan pemekaran wilayah Sumbawa khususnya Sumbawa Barat. kenyataan ini cukup disadari oleh Pemda dan DPRD Sumbawa akhir-akhir ini, untuk tahun anggaran sekarang Pemda Sumbawa mengeluarkan kebijakan anggaran untuk pemekaran wilayah Sumbawa. Dukungan anggaran ini didasarkan oleh telah berdirinya Tim Kajian Pemekaran Kabupaten Sumbawa yang secara resmi akan mengeluarkan rekomendasi pemekaran itu sendiri.

Dilain pihak persoalan Internal Komite bentukkan Kyia semakin kontraversi, Ustat Nur Yasin yang sebelumnya sebagai pelopor Komite Tersebut merasa dirinyalah yang berhak untuk menjalankan Komite Tersebut, dan masyarakatpun melihat bahwa upaya Kyia dalam menjalankan Komite merupakan upaya Kudeta atas usaha Nur Yasin yang selama ini dijalankannya. Yang terlihat apa yang menjadi pertentangan kepentingan dalam kubu Taliwang tersebut masih wajar karena semuanya mempunyai prinsip dan pandangan masing-masing terhadap solusi Sumbawa Barat. Apa yang menjadi perbedaan pandangan antara Kyia dan Komponen lainnya adalah Tantangan kita bersama, dan tantangan ini bisa diubah menjadi sebuah harapan untuk menjadikan Sumbawa Barat sebagai komitmen bersama.

Kita percaya apa yang akan diputuskan oleh DPRD Sumbawa merupakan upaya untuk mencari solusi terbaik bagi Sumbawa, semua dimenangkan dan tidak merasa dirugikan. Jangan sampai kondisi chaos akan menjadi bagian masa depan Sumbawa Barat itu sendiri.

Kebesaran jiwa inilah yang sangat dituntut bagi para penggagas Sumbawa Barat yang berbeda pandangan, hasil dari DPRD Sumbawa itu bisa dijadikan tolak ukur untuk menyatukan kembali arah komitment yang telah diperjuangkan sebelumnya. Kalau semua itu masih dianggap belum bijaksana kita bisa mencari organisasi independent ( Konsultan ) untuk menjadi penengah akan perbedaan tersebut.



Bandung, 12 Juni 2002

Arif Hidayat



0 komentar:

:)) ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} :)] ~x( :-t b-( :-L x( =))

Posting Komentar

Terima Kasih Tas Komentar Anda

 

Artikel Terkait


© Copyright 2008. www.arifhidayat.com. All rightsreserved | www.arifhidayat.com is proudly powered by Blogger.com | Template by o-om.com