Kamis, 31 Juli 2008

Ideologi dan Teror, “Pendekatan Holistik ala Mafioso”

. Kamis, 31 Juli 2008

“It is more important to do the right things than to do things right” lebih baik melakukan suatu hal yang benar daripada membenarkan suatu hal.
Mafiaso merupakan anggota dari sekelompok mafia, mafia sendiri berkembang dari Italia membentuk sebuah jaringan global yang identik dengan sebuah gerakan kriminalitas. Batasan antara mafia dan penjahat sebenarnya tak lebih dari setali tiga uang. Dalam ideologi gerakannya, mafioso menyandarkan sebuah ideologi yang disebut totalitarisme yang pelaksanaan kekuasaannya mengembangkan sebuah langkah politik yang seluruhnya baru dan menghancurkan semua tradisi yang telah dibangun sebelumnya. Tidak peduli apapun tradisi atau sumber spritual ideologinya, idelogi totaliter selalu mentrasformasikan kelas-kelas yang ada menjadi gerakan massa, yang pada akhirnya tidak ada lagi kategori legal tradisional, moral dan akal sehat utilitarian yang dapat membantu kita menyesuaikan diri dengan atau menilai atau memprediksi langkah tindakan mereka selanjutnya.


Mafioso dan teror kini berkembang di Sumbawa Barat seiiring dengan makin meruncingnya perbedaan persepsi mengenai batas wilayah yang ideal untuk pemekaran wilayah sumbawa itu sendiri. Sebuah krisis moral ketika posisi politik tersudutkan dengan kenyataan yang disamarkan demi kepentingan politik sekelompok golongan. Yang pada akhir pelampiasan sikap stress akan kondisi yang dialaminya diwujudkan dalam bentuk teror. Belakangan ini teror begitu menjadi tren untuk mencitrakan profesionalisme mereka yang tak lain hanya langkah karbitan untuk menggapai tujuan tersembunyi jangka panjang bagi kelompok mereka. Apa yang menjadi bagian gerakan KPKS pimpinan Kyia Zulkifli berupa Teror merupakan realitas politik yang akan menjamur bagi gerakan politik di pulau Sumbawa khususnya Sumbawa Barat. Tidak mempan dengan teror telepon yang mengancam pembunuhan serta seabrek ancaman lainnya kini mereka mulai menggalang sebuah pembentukan opini akan siapa yang perlu dipersalahkan atas kondisi Sumbawa Barat itu sendiri. “tak ada asap tanpa adanya api” seharusnya itu yang menjadi bahan renungan rekan-rekan KPKS untuk menscan kembali kondisi yang telah tercipta sebulan terakhir. Siapa yang pertama menyalakan api disitulah asap akan muncul. Sebuah pendekatan ala tahun 1965 yang digembosi oleh Ekstrem kiri yang berhaluan komunis kini malah terealisasi sebagai ciri khas dari dapur gerakan yang ditawarkan untuk menyelesaikan masalah Sumbawa Barat itu sendiri. Kita bisa membaca sebuah pamplet yang bertulis “PENGUMUMAN DI CARI IKHLASUDDIN & ARIF HIDAYAT, dituntut oleh masyarakat Sumbawa Barat karena kedua oknum ini merupakan provokator ulung yang telah mengacau masyarakat Sumbawa Barat. Bagi masyarakat yang menemukan oknum tersebut diatas mohon diserahkan kepada masyarakat Sumbawa Barat. Dari Masyarakat Sumbawa”. Pendekatan inilah yang digunakan oleh komunitas gerakan kiri tahun 1965 untuk membungkam gerakan yang bersebrangan dengan mereka.

Apa yang tergambar dalam pamplet ini ternyata sikap banci alias tidak jantan lebih dominan, hal ini disebabkan identitas diri selaku gerakan disamarkan sebagai kepentingan regional (dari masyarakat sumbawa barat ) yang sama sekali masyarakatnya apatis terhadap gerakan yang dilakukannya. Seharusnya dengan jantan KPKS mengklaim dirinya sebagai pembuat dan pengimbau dari pamplet tersebut. Itupun masih kurang kalau memungkinkan juga KPKS juga menampilkan foto-foto kami karena masyarakat Sumbawa Barat sendiri pasti bertanya bagaimana sih rupanya “ARIF HIDAYAT” itu ?”. Lebih kreatifnya lagi jangan bermodalkan fhoto kopi hitam putih, kalau bisa dengan sparasi warna. Mau lebih luas lagi iklankan di media lokal….itu lebih siip…….

Penindasan politik lain juga bermunculan seperti despotisme, tirani dan kediktatoran begitu gerakan terpojok dengan penghakiman massal yang diberikan oleh lingkungannya. Sikap ini merupakan pembelaan atas gerakan mereka selama ini yang merasionalisasikan dalam konsep “kemauan yang sesat” ( perverted ill will ) dengan metode pendekatan yang kurang sempatik.

Dalam ideologi totaliter, kerangka pikiran positif diambil alih oleh teror yang direncanakan untuk menterjemahkan hukum gerakan atau hukum alam kedalam realitas politik. Teror dalam ideologi totaliter bukan lagi digunakan untuk membumihanguskan gerakan oposisi tapi sudah menunjukkan keterbatasan sebuah gerakan akan pemahaman hukum positif yang berlaku dinegara ini. Kerangka politik fair tidak dijalankan karena memang penganut teror ini tidak mempunyai kemampuan profesional dalam hal politik itu sendiri, yang ada dibenaknya tak lain adalah hukum rimba yang beratus tahun lalu merupakan kondisi yang mungkin bisa diidealkan.

Teror adalah realisasi hukum gerakan, tujuan utamanya ialah memungkinkan kekuatan gerakan mereka bebas mengangkangi seluruh umat manusia, tidak dihalangi oleh tindakan spontan manusia. Oleh karena itu teror berusaha “Menstabilkan” manusia untuk membebaskan kekuatan-kekuatan gerakan mereka. Gerakan ini memilih musuh-musuh yang perlu diteror dengan leluasa, dan tidak ada tindakan bebas baik yang menentang maupun bersimpati boleh turut campur dalam penyingkiran “musuh objective” Kelompok mereka. Bersalah atau tidak bersalah menjadi pengertian tanpa makna, “bersalah adalah orang yang menghambat proses gerakan meraka” sehingga pada pemahamannya “orang (oposannya ) tersebut tidak layak untuk hidup”.

Teror sebagai pelaksanaan hukum gerakan yang tujuan akhirnya bukan kemakmuran manusia atau kepentingan satu orang, tetapi rekayasa manusia, menyingkirkan “Individu tak berguna” demi kepentingan species mereka, mengorbankan “bagian” demi kepentingan “keseluruhan”. Kekuatan adil kodrati dari alam atau sejarah memiliki awal dan akhirnya sendiri, sehingga kekuatan ini hanya dihambat oleh awal baru dan akhir individu, yang betul-betul merupakan kehidupan dan keingginan dari masyarakat.

Teror ini akan menghantui realitas kehidupan masa – masa mendatang di wilayah Sumbawa Barat. gerakan mafioso yang mencerminkan watak keinginan untuk membodohi masyarakat perlu langkah preventif yang mulai saat ini harus diantisipasi. Mafia ini sendiri terselebung dalam sebuah gerakan spritual yang berbasis agama sehingga timbulnya mafia spritual. Pendekatan yang digunakan untuk membentuk masyarakat sesuai dengan keinginannya adalah pendekatan yang menggunakan ajaran-ajaran Illahi untuk mencapai tujuan mereka. Bisa jati dengan identitas yang melekat dari diri seorang gerakan seperti Kyia, ustat maupun Haji, diharapkan ada pembenaran terhadap gerakan yang selama ini dijalankannya. Mafioso ini terobsesi dengan rayuan ekonomi yang mungkin akan didapatkan jika mereka sudah menguasai medan perang mulai saat ini. Apa yang ada didepan kita adalah “Royalti 32 % dari PT. NNT” itulah mimpi indah yang ingin dimainkan oleh para pelaku gerakan KPKS bentukan sang Kyia ini. Sebuah upaya untuk menguasai ekonomi Sumbawa Barat merupakan langkah riel jika memang Sumbawa Barat itu sendiri berasal dari wilayah seteluk sampai Sekongkang.

Bisa jadi teror yang ada saat ini akan terimbas pada perebutan “royalti” yang menurut salah satu kelompok (bukan masyarakat) merekalah yang berhak menerimanya. Gerakan yang dikembangkan dicapai dengan mengimitasi pikiran, baik secara logis atau dialektis. Hukum – hukum gerakan yang dibangun “secara ilmiah” mengintegrasikan proses imitasi ( kebohongan ). Argumentasi ideologis selalu semacam deduksi logis, sesuai dengan kepentingan yang disodorkan oleh pembuat gerakan. Tapi jika response itu bertentangan maka jalan teror akan menjadi pembenaran untuk menjalankan gerakan mereka.

Akan sangat berbeda jika perbedaan pendapat yang ada diselesaikan dengan kepala dingin, anak Sekolah Dasar saja bisa melihat sebuah persoalan dapat di selesaikan dengan akal sehat, apalagi rekan-rekan kita yang tergabung di KPKS masa tidak mempunyai akal sehat. Akan terlihat otak kita terisi jika pendapat berlawanan diargumentkan kembali secara fair melalui jalur memungkinkan seperti media lokal, bukan membentuk teror yang lebih cendrung mengambarkan otak kita tidak terisi. Yang perlu disadari zaman sekarang bukanlah era gerakan komunis tahun 1965 atau era Soeharto dengan dialektikanya Orde Baru. Perlu kita sadari yang menjadi kenyataan saat ini adalah perbedaan pendapat bukan upaya untuk saling menghancurkan, perbedaan itu akan menjadi sebuah pengharapan jika solusi yang didapatkan didasarkan pada kepala dingin dalam melihat persoalan yang terjadi.

Masih banyak jalan yang simpatik untuk membangun Sumbawa Barat itu lebih baik, bukan dengan teror, intimidasi atau malah mengaburkan fakta yang ada. We build together…………….



Bandung, 16 Juni 2002

Arif Hidayat



0 komentar:

:)) ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} :)] ~x( :-t b-( :-L x( =))

Posting Komentar

Terima Kasih Tas Komentar Anda

 

Artikel Terkait


© Copyright 2008. www.arifhidayat.com. All rightsreserved | www.arifhidayat.com is proudly powered by Blogger.com | Template by o-om.com