Kamis, 31 Juli 2008

Membahasakan Suksesi Pemimpin Daerah

. Kamis, 31 Juli 2008

Gaung suksesi kepemimpinan daerah mulai merayap seiring dengan kompetisi berbagai pihak untuk mengajukan jagoannya menjadi orang nomor satu disebuah wilayah
Cukup menghangat dibenak kita Suksesi Gubernur di Wilayah DKI Jakarta merupakan cerminan awal kahangatan sambutan masyarakat akan pemimpin daerah yang diidamkannya. Proses perdana dengan munculnya Bakal Calon ( Balon ) mengusik benak kita akan fenomena menarik yang sebelumnya belum pernah terjadi. Balon yang muncul bukan lagi didominasi oleh pemain lama yang berlabelkan birokrat semata, dari tukang becak, aktifis LSM bahkan ketua DPRDnya sendiri berambisi menjadi orang nomor satu di wilayah DKI Jakarta tersebut. Kasak kusuk Tim sukses menjadi bagian strategis untuk mengklaim Balonnya diterima oleh masyarakat.


Timbullah LSM jamuran yang seolah-olah memberikan dukungan riel akan seorang tokoh yang dimajukan dalam sebuah pertarungan yang sengit. Masa kampanye sudah dimulai meskipun secara resmi panitia pemilihan daerah belum memutuskan waktu formalnya. Opini bersahutan berkembang menjadi sebuah pertarungan penguasaan informasi yang perlu tidaknya disodorkan kepada publik. Yang dimenangkan sudah tentu yang mempunyai akses lebih kuat dibandingkan dengan Balon lainnya.

Kepentingan politis yang dimainkan justru menenggelamkan norma – norma umum dalam masyarakat. Misalnya sebelumnya pemilihan pemimpin daerah berlangsung, dengan bangganya sang calon berceloteh “ saya tidak akan mencalonkan diri, kita memberi kesempatan kepada calon lainnya “. “Biarkan peluang putera daerah untuk memimpin daerahnya”. Serta seabrek celoteh diikrarkan. Kita tidak bisa lagi membedakan bahasa kejujuran dan bahasa politik, karena dengan perputaran waktu semua yang telah dibahasakan kembali pada satu tujuan yaitu “kepentingan”. Manusia akan tetap menjadi manusia seiring dengan ambisinya untuk mendapatkan yang lebih, nilai kepuasan hanyalah sebuah teori relatif.

Menelusuri kaidah pokok dari penerapan Otonomi yang mengedepankan kreatifitas daerah untuk mengolah dirinya sendiri, malahirkan pemahaman dari Komponen masyarakat, pembuat kebijakan serta pelaku dari kebijakan itu bahwa pemimpin daerah itu harus merupakan putera daerah itu sendiri. Dalam bahasa gaulnya harus orang lokal kelahiran lokal. Seabrek retorika mengiringi mengapa harus mengedepankan putera daerah sebagai pemimpin daerah tak lain upaya untuk membahasakan bahwa pemimpin tersebut harus memahami daerahnya. Sudah tentu pemahaman ini akan lebih mendalam jika hubungan emosional pemimpin daerah dengan daerahnya merupakan satu kesatuan yang utuh.

Masyarakat Betawi sudah tentu mengedepankan Pemimpin daerah kelahiran Betawi, masyarakat Jawa Barat sudah tentu mengedepankan pemimpin daerah kelahiran tanah Sunda, begitu pula Propinsi lainnya akan mengangkat wacana kesukuan sebagai batasan kongkrit untuk mengkrucutkan bakal calon pemimpin daerah mereka. Akan berhasilkah Batasan kesukuan ini menjadi komitmen sang Pemimpin ? bisa ya dan tidak. Segelintir orang beranggapan, sejelek-jeleknya Putera daerah yang memimpin, sumbangsih bagi daerah pasti ada. Statemen ini didasarkan bila pemimpin daerah tersebut akan melakukan KKN, sudah tentu minimal anggota keluarga mereka dalam daerah tersebut akan menikmatinya, aset daerah, orang-orang yang berKKN ria akan berasal dari daerah mereka, tidak akan lari kedaerah lain. Kenyataan ini mungkin akan menjadi harapan minimal jika putera daerah yang akan menjadi pemimpin daerahnya. Lain lagi jika pemimpin daerah bukan berasal dari daerah tersebut, maka sudah tentu aset daerah akan berpindah lokasi kedaerah lain. Begitu juga orang yang berKKN akan dikuasai oleh para pendatang. Ini akan menjadi kecemburuan sosial bila justru para pendatang yang menguasai aset daerah dan posisi strategis di pemerintahan daerah.

Apa yang menjadi trend global tentang kriteria pemimpin setidaknya memberikan gambaran paradox terhadap semangat daerah dalam mengimplimentasikan otonomi daerah. Semua akan kembali pada konsep manajemen tradisional yang mengedepankan kekerabatan dibandingkan profesionalisme dalam menjaring calon pemimpin. Apa yang terjadi di negara tetangga kita – Singapura selama ini, tak lain mengedepankan kompetisi fair serta profesional dalam menjaring orang-orang terbaik dinegerinya. Yang tidak berkualifikasi dengan sendirinya akan tersingkir karena kompetisi yang sangat ketat. Kebijakan pemerintahnya untuk memberikan subsidi khusus bagi mereka yang berprestasi tanpa memandang dari negara mana mereka berasal merupakan upaya negara pulau tersebut untuk menggaet mereka menjadi warga negara resmi. Singapura sadar bahwa keberhasilan masa depan akan ditentukan oleh kualitas manusianya, karenanya mereka dengan berani menawarkan insentif yang menarik bagi orang-orang berprestasi untuk menjadi warga negara singapura. Batasan kesukuan, negara, ideologi bukan lagi kamus yang terus-menerus dibuka bagi Singapura dalam mengincar Sumber daya manusia terbaiknya.

Setidaknya daerah di Indonesia bisa mengambil referensi dari apa yang menjadi kebijakan selama ini di Singapura, bahwa batasan kesukuan itu hanya akan mempersempit ruang gerak kreatifitas jika SDM lokal sendiri belum bisa mengimbangi perubahan global. Apa yang menjadi tanggung jawab pemimpin daerah saat ini bukan lagi menggunakan batasan titisan yang selama ini menjadi peradaban dari rezim orde baru. Pemimpin daerah dituntut untuk bisa berkompetisi secara global apalagi diambang kita AFTA akan berlangsung. Pemimpin daerah akan menjadi Perdana Menteri bagi daerahnya, kemampuan global sangat dibutuhkan untuk meresepon para investor masuk kedaerahnya. Selama ini, mungkin kita masih dininakbobokan dengan tanggung jawab pemimpin daerah yang masih banyak disibukkan dengan kegiatan rutin internal daerah, masa-masa mendatang porsi tersebut akan dilimpahkan kepada wakil dan Sekretaris daerah. Pemimpin daerah akan lebih banyak memegang porsi tanggung jawab ke dunia luar, fungsi ini mengibaratkan dia sebagai perdana menteri sebuah negara. Otonomi Daerahlah yang menjadi Fungsi Pemimpin Daerah akan lebih menglobal dengan kemampuan profesionalisme yang harus teruji. Retorika yang cukup beralasan dengan keharusan daerah membiayai dirinya sendiri menjadikan pemimpin daerah harus lebih inovatif, kreatif dan bertanggung jawab menghasilkan pendapatan bagi daerahnya. Sudah tentu untuk saat ini masih banyak daerah yang membutuhkan investor untuk menggerakkan roda ekonominya.

Dalam perjalanan menggapai kursi nomor satu disebuah wilayah, belum tentu kemampuan profesional seorang calon akan menjadi keputusan akhir. Memang masyarakat berpartisipasi menyambut era suksesi kepempinan daerah ini, dari mengadakan diskusi terbatas, seminar sampai demonstrasi untuk menyampaikan kriteria pemimpin daerah. Namun keputusan tetaplah berada ditangan anggota DPRD daerah itu. Masyarakat hanya bagian seremonial suksesi, aspirasi mereka bisa jadi hanya ditampung namun belum tentu direalisasikan. Sudah menjadi rahasia umum seseorang yang menjadi pemimpin daerah biasanya karena faktor Kawan, Uang dan keberanian. Faktor kawan karena sang pemenang mempunyai jaringan orang-orangnya sebagai anggota DPRD, faktor uang sangat dibutuhkan untuk memperhalus sogokan menjadi biaya sidang dan administrasi. Serta faktor keberanian untuk bisa menjual bahasa kepentingannya menjadi bahasa politis yang cukup menarik.

Apa yang menjadi usulan masyarakat dengan kriteria : Bebas KKN, Putera Daerah, berahlak mulia, jujur, kerakyatan, profesional dll hanyalah sederet kaidah normatif yang ditulis dalam selembaran pernyataan sikap. Semua akan mentah jika pertarungan itu sudah menjadi agenda kongkrit pembahasan anggota Dewan. Bukti ini sudah banyak menghiasi penerapan otonomi dibeberapa daerah. Bahkan anggota Dewanpun bermain dengan mempolitisir kebijakan yang mendukung salah satu calon. Keputusan Menteri dalam negeri tentang tata cara pemilihan pemimpin daerah bisa diubah sesuai dengan kepentingan anggota dewan akan jago mereka. Fenomena ini pernah terjadi saat pemilihan Bupati Sumbawa tiga Tahun lalu. Nyatanya surat keputusan Pempinan Dewan masih lebih tinggi dari surat keputusan Anggota Dewan dan Surat keputusan Menteri Dalam Negeri ( Mendagri ). Bukan mustahil hal serupa akan menjadi permainan anggota Dewan daerah lain untuk menggolkan jago mereka. Disinilah gambaran yang jelas pemimpin daerah yang muncul adalah atas dasar kepentingan sebuah kelompok bukan atas dasar keinginan masyarakat.

Ide awal terbentuknya reformasi menginginkan perubahan mendasar akan tingkah laku penyelengara negara sebelumnya. Secara kasat mata memang orde baru runtuh, tapi dalam prakteknya tingkah laku orde baru malah lebih meluas merasuk kepada segala penjuru pembuat dan pelaksana kebijakan dinegara ini. DPR dan DPRD yang sebelumnya dijuluki 5 D ( datang, duduk, diam, dengar dan duit ) kini memperlihatkan powernya yang sangat kuat. Namun penggunaan Power ini lebih ditekankan kepada sejauh mana kepentingan mereka diraih. Akan sangat mustahil impian masyarakat akan pemimpin daerah amanah dan fatonah serta beriman akan muncul kalau perilaku pembuat kebijakan ( Dewan ) masih bergelut dengan sejauhmana kepentingan kelompok mereka dapat diterima.

Langkah untuk mengikuti Singapura dalam mengedepankan SDMnya sebagai pengendali masa depan negara pulau tersebut masih sebatas impian kita. Jika memori kepentingan kelompok masih dominan dijadikan tolak ukur untuk mengambil keputusan. Anggota Dewan akan semakin asyik dengan permainan yang selama ini dijalankan, sudah tentu partisipasi masyarakat sangat dibutuhkan untuk bisa membatasi permainan anggota Dewan ini. Jangan Sampai masyarakat akan menerima pemimpin daerah seperti membeli kucing dalam karung. Apalagi tiba-tiba muncul seorang pemimpin daerah seperti permainan sulap “ sim salabim” maka jadilah dia pemimpin daerah.

Kita berharap wakil-wakil kita yang duduk di DPRD dapat melakukan hal yang benar sesuai hati nurani masyarakatnya, apa yang dikatakan oleh Peter Drucker “It is more Important to do right things than to do things right”, “lebih baik melakukan suatu hal yang benar daripada membenarkan suatu hal”. Dapat memberikan pencerahan bagi kita dalam melangkah.



Bandung, 26 June 2002

Arif Hidayat



0 komentar:

:)) ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} :)] ~x( :-t b-( :-L x( =))

Posting Komentar

Terima Kasih Tas Komentar Anda

 

Artikel Terkait


© Copyright 2008. www.arifhidayat.com. All rightsreserved | www.arifhidayat.com is proudly powered by Blogger.com | Template by o-om.com