Kamis, 31 Juli 2008

Diplomasi Munafik

. Kamis, 31 Juli 2008

“No one likes to be beaten, but it is better to be beaten than to cheat or be wrong”.
Tak seorang pun suka dikalahkan, akan tetapi lebih baik dikalahkan daripada berbuat curang atau berbuat salah.
Sikap ini biasanya tergambar dalam dunia olah raga, umumnya kita mengenal dengan sebutan sportivitas. Apa yang terjadi dalam dunia olah raga tersebut setidaknya dapat menjadi repsentasi bagi kita untuk bisa bersikap demikian, jangan terlalu mengawang-awang, dalam lingkungan keseharian setidaknya sikap itu perlu kita terapkan. Sekedar pertanyaan klasik, apa jadinya jika sikap sportivitas ini tidak bisa diterapkan. Tak lain kita akan menjadi bagian dari mesin rezim yang otoriter, yang pada akhir segala cara untuk mencapai tujuannya akan dihalalkan. Gambaran ini terlihat jelas didepan mata kita, pergelokan di Timur Tengah yang melibatkan Israel dan Palestina menrupakan contoh kongrit dimana tujuan akhir Israel adalah keharusan. Apa yang terjadi, proses dialog hanyalah sebuah seremonial untuk dipertontonkan kepada Dunia bahwa ada keinginan untuk berdialog, dibalik itu apa yang terjadi dialog berlangsung, peperangan berlanjut. Kita mengenal kelicikan israel dengan berbagai jaringannya yang menggurita, maka timbullah Diplomasi Munafik ala Yahudi.




Proses yang terjadi menyebabkan kebuntuan Dialog tak lain disebabkan oleh super ego yang melatarbelakangi salah satu pihak, apa yang menjadi paparan hanyalah sebuah diskripsi persetujuan disaat proses dialog berlangsung. Namun setelah itu pengingkaran akan dilakukan karena salah satu pihak merasa dikalahkan dan dimenangkan. Inilah persepsi yang sengaja dimunculkan ketika ketiakpuasan itu ada. Adapun hambatan yang mengahadang berkembangnya bermacam jawaban dalam suatu dialog adalah :

1. Terlalu awal atau terlalu cepat menyimpulkan ( premature judgment )

2. Berusaha mendapatkan hanya sebuah jawaban ( single answer )

3. Menganggap keputusan yang diambil sebagai harga mati ( fixed pie )

4. Beranggapan “menyelesaikan masalah mereka merupakan urusan mereka” ( Solving their problem is their problem )

Kejadian yang ada di Sumbawa setidaknya dapat membuka wacana kita dalam keilmuan dan kekritisan, proses dialog yang terjadi pada hari Senin, 3 Juni 2002 yang dikemas dalam bentuk Seminar pengkajian pemekaran daerah memperlihatkan betapa memprihatinnya pola pikir yang ada dalam komponen masyarakat kita. Apa yang menjadi komitment Pemerintah Sumbawa untuk mendukung terbentuknya daerah pemekaran baru “Sumbawa Barat” diterjemahkan sebagai upaya untuk memaksakan keinginan sekelompok golongan yang tak lain adalah kemauan Kyia Zulkifli. Yang sangat disayangkan sang Tokoh ternyata tidak muncul untuk mempertanggungjawabkan argument yang seharusnya bisa diperdebatkan. Dalam bidang keilmuan dan etika proses perdebatan adalah wajar jika kita mempunyai argument yang bisa dijadikan referensi akademis, dan sangat disayangkan jika harga mati dari sebuah argument yang tidak bisa dinalarkan akan menjadi kehendak yang harus dipaksakan. Pandangan Maslow dalam teori kebutuhan bertingkat menjelaskan, proses yang ada dalam Zulkifli khususnya dalam diri adalah pengaktualisasian diri yang terlalu berlebihan. Apa yang diterjemahkan malah keluar dari kondisi normatif yang diinginkan oleh sebagian besar komponen Sumbawa. Sehingga terjadilah sebuah hambatan yang berasal dari dari luar atau masyarakat yang lebih cendrung bersifat negatif. Streotif budaya yang ada dilingkungan Taliwang memberikan dorongan yang kuat bagi Zulkifli untuk menterjemahkan gerakannya sebatas lingkungan micro, apa yang terjadi diluar dianggap sebagai bagian melekat yang sama sekali tidak mempunyai kaitan sama sekali. Yang pada akhirnya tataran aktualisasi diri secara individu ini akan tertularkan pada satu rangkaian kesepahaman dalam kelompok mereka. Apa yang menjadi bagian dari Diplomasi munafik ala Yahudi merupakan contoh kongret terhadap pengakuan aktualisasi diri yang terlalu berlebihan, sehingga bangsa atau negara lain dianggap sebagai bangsa kontrakan didunia ini.

Pengakuan atas keterlibatan pihak ketiga dalam mempertimbangkan layak tidaknya Sumbawa Barat menjadi kabupaten merupakan upaya riel untuk mengakomodir kepentingan Sumbawa Barat itu sendiri. Apa yang kita kenal dalam Tekhnik berunding digunakannya pihak ketiga dalam usaha pemekaran ini adalah prosedure mediasi satu teks – one text mediation procedure ( proses pengikut sertaan pihak ketiga sebagai penasehat ). Lahirlah sebuah Tim Pengkajian yang melibatkan berbagai unsur di Sumbawa untuk mengkaji berbagai asfek yang mendukung pemekaran Sumbawa Barat. Keberadaan Tim ini adalah sangat wajar jika kita mengurut dalam tata hukum dinegara kita, sangat mustahil keinginan Suatu daerah akan terwujud jika daerah tersebut tidak didukung oleh daerah Induknya, sudah tentu pemerintah daerah dan DPRD Sumbawa merupakan bagian kongrit dari komitment dukungan tersebut. Apa yang dikatakan oleh kelompok Kyia bahwa mereka akan menempuh jalan lain untuk menggolkan Sumbawa Barat dari Sateluk sampai Sekongkang merupakan upaya emosi yang tidak disertai kajian ilmiah. Memang gerakan Kyia untuk mempengaruhi Tim Pengkajian terus dilakukan, namun kita mengetahui integritas dan kapabiltas Tim pengkajian ini tidak bisa dipengaruhi dengan kondisi subjectif sekelompok golongan. Mereka bukanlah akademisi-akademisi yang mendapatkan Master, Doktor dengan hanya membayar uang wisuda dan ongkos tiket pesawat ke Inggris, lalu mendapatkan seabrek gelar doktor. Namun mereka mempunyai tanggung jawab moral akan akademisi mereka yang pada akhirnya hasil kajian yang direkomendasikan merupakan kenyataan objectif, ilmiah dan legalitas.

Apa yang terjadi tentang proses seminar pemekaran Sumbawa Barat seharusnya sudah menjadi resiko bagi Kyia Zulkifli untuk menerima hasil argument yang diperdebatkan. Seharusnya sang Kyia bukan mengutus orang lain, tapi secara jantan berada di seminar tersebut. Apa yang terjadi adu argument hanya sebatas debat kusir dengan memaparkan emosi yang tidak akademis, ilmiah dan objectif. Rasa kekalahan ternyata diwujudkan dengan upaya memutarbalikkan kenyataan yang sedang berlangsung, pengakuan terhadap proses akhir dari seminar tersebut ternyata dimentahkan dengan seabrek alasan yang tidak objektif. Maka lahirlah upaya lain untuk memperkuat bargaining salah satunya membrainstorming masyarakat setempat akan kebenaran gerakan mereka selama ini. Upaya ini jelas dilakukan sebagai upaya untuk membiaskan kembali terbentuknya Sumbawa Barat. Apa yang diwacanakan diwilayah Taliwang sampai Sekongkang bahwa pada tanggal 10 Juni Nanti Pemda dan DPRD Sumbawa akan mengeluarkan rekomendasi pemekaran wilayah Sumbawa Barat dari Sateluk sampai Sekongkang hanyalah sebuah trik pengharapan semu. Publikasi yang gencar terhadap wacana ini tak lain diupayakan agar masyarakat wilayah tersebut akan mempercayai semua itu. Yang pada titik klimaksnya jika pada tanggal tersebut rekomendasi tidak keluar maka akan terjadi Chaos dengan alasan pemerintah daerah dan DPRD jelas-jelas membohongi rakyatnya. rencana ini akan didukung dengan pengerahan massa dalam jumlah yang cukup besar yang tak lain sebagai upaya untuk menekan penentu kebijakan merekomendasikan kehendak kelompok mereka. Skenario ini akan menajadi Bumerang bagi tercapainya cita-cita Sumbawa Barat, karena bisa jadi dengan upaya yang instant ini data-data pendukung yang objectif akan tersamarkan dengan data-data manipulatif. Sudah tentu ini akan menggagalkan terbentuknya Sumbawa Barat.

Upaya lain yang dilakukan diam-diam oleh kelompok Zulkifli untuk mempertegas gerakannya adalah dengan mencoba mencari dukungan dari kelompok mahasiswa yang berada di wilayah Jawa, diantaranya daerah Jokjakarta dan Malang. Sudah beberapa hari ini mereka menghubungi kelompok mahasiswa dan menyarankan untuk membentuk sebuah aliansi mahasiswa Sumbawa Barat yang mendukung gerakan Kyia ini. Langkah ini ternyata menemui kendala, apa yang menjadi rekomendsi kelompok mahasiswa di Jokjakarta ternyata mereka mendukung upaya pemerintah untuk pemcahan masalah Sumbawa Barat, begitu juga mahasiswa di Malang mereka menertawakan langkah yang diambil oleh sang Kyia ini.

Sangat disayangkan gelar akademisi sampai S2 dan S3 yang melekat dalam diri Zulkifli tidak mencerminkan tanggung jawab moral terhadap gelar tersebut. Apa yang diinginkan oleh dunia pendidikan bahwa penyandang gelar tersebut setidaknya berpikir objektif, rasional dalam membangun bangsa ini. Malah kenyataan yang terjadi memperlihatkan bahwa sepertinya kita tidak mempunyai latar belakang pendidikan sama sekali, termasuk pendidikan kemasyarakatan yang merupakan bagian dari lingkungan kita. Selayak itukah kita mencerminkan diri sendiri…..hanya nuranilah yang bisa menjawabnya…amienn…



Bandung, 4 Juni 2002

Arif Hidayat



0 komentar:

:)) ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} :)] ~x( :-t b-( :-L x( =))

Posting Komentar

Terima Kasih Tas Komentar Anda

 

Artikel Terkait


© Copyright 2008. www.arifhidayat.com. All rightsreserved | www.arifhidayat.com is proudly powered by Blogger.com | Template by o-om.com