Senin, 01 September 2008

K”Otak” Kuasa

. Senin, 01 September 2008

Salah seorang kerabat imajinerku mengeluh “Kalau ada kuasa alangkah baiknya Pemimpin Sumbawa digantikan saja”. “Mengapa ?” kataku , “Keadaan sekarang tidak lebih baik dari zaman orde baru, bahkan lingkaran itu makin mengikat dalam skala yang luas, kebenaran hanyalah anggukan kepada penguasa pertama. Tidak bisa kita impikan sebuah hasil profesionalisme, yang ada hanyalah keinginan untuk mendapatkan lebih banyak dari aset daerah”. Sungguh menakjubkan, jadi apa yang perlu kita lakukan ? “ Hanya pasrah dengan waktu, kuasa itu ternyata berotak kejam”.

Kehilangan makna sebuah nurani merupakan penyakit yang sulit disembuhkan, rasa syukur hanya mendapat tempat jika hawa nafsu itu terpenuhi. Kita tidak seharusnya memvonis bahwa pemimpin Sumbawa kehilangan makna nurani, yang benar adalah nurani itu sengaja disimpan rapat-rapat demi tenggang waktu jabatan yang ingin diraihnya. Sebuah kotak kuasa dengan aura kemerahan senantiasa menjadi penjaga bagi nurani yang tersimpan rapi tersebut. Jadi kapan Nurani tersebut terbuka ? barang kali ketika masa kuasa itu berakhir, dan dari segala arah menyalahkan apa yang telah diperbuat semasa kuasa bertahan. Makna nurani akan muncul sebagai belas kasihan akan pembelaan terhadap situasi yang kritis. Sudah bukan saatnya semua itu disesali, masa lalu akan menumbuhkan buah bagi masa sekarang. Hasilnya sudah tentu berhubungan dengan pohon apa yang telah ditanam sebelumnya. Pohon kebaikan akan mendatangkan sikap penghargaan dari sesama, sebaliknya pohon kejelekan akan mendatangkan karma yang belum tentu akan berakhir dalam kehidupan duniawi.
Kemarau panjang dalam bulan-bulan terakhir bahkan menambah dereten kemarau nurani pemimpin Sumbawa, yang dilahirkan hanyalah pemimpi – pemimpi kuasa. Suara rakyat adalah suara tuhan hanyalah Hiperbolik yang hanya dimaknai dalam teks pelajaran. Lahirlah syair dari masa kanak – kanak akan kemarau yang panjang ini
“Hujan”
Datanglah musim hujan
Kami hanya punya segengam beras
Segengam beras memaknai batas kehidupan yang ingin dipertahankan, dalam gengaman itu rakyat jelata memimpi seorang pemimpin yang bisa mengimbangi bencana kemarau tersebut. Disinilah letak perbedaan pemimpin Sumbawa yang diangkat, yang dilahirkan hanyalah bencana kemarau bagi rakyat. Mimpi sahabat imajinerku ternyata tidak kuasa diwujudkan, K’otak’ kuasa yang saat ini ada ternyata mencengkaram segala asfek kehidupan masyarakat Sumbawa. jangankan sahabat imajinerku yang hanya menjadi kuli pers koran lokal mewujudkan impiannya, posisi Sekda saja bisa disingkir dengan sangat mudah oleh kuasa pertama. Itulah Sumbawa, makna komitmen hanya sebagai pemuas ketika kepentingan itu terdesak. Yang dicari adalah posisi aman untuk melindungi dirinya akan pencapaian masa depan. Dalam bayangan sahabat imaginerku, Bupati saat ini tidak akan mencalonkan diri dalam periode selanjutnya. Mimpi itu ternyata salah besar……dan jangan bermimpi lagi. Yang ada hanyalah membangun kekuatan untuk bisa mendapatkan kembali kedudukan yang ada saat ini, bahkan bisa jadi posisi Bupati seumur hidup akan menjadi incaran yang sangat dinantikan.
Itulah Sumbawa kawan……..hasil yang ada tidak bisa dijadikan cermin berhasil tidaknya seseorang, yang ada hanyalah bagaimana mempolitisir hasil tersebut sehingga dengan kompak menjawab “Setuju……………kami dukung”. Siapa yang disalahkah, DPRD yang memilih atau calon Bupati yang dikalahkan karena tidak berani menyogok lebih besar dari yang terpilih ? ah……semua berlalu, masa lalu di Sumbawa hanyalah sebuah rentetan yang hanya perlu dijadikan bahan dongengan, karena semua hanya terpesona dengan bahan cerita.
Sudah menjadi basi ketika KKN diangkat kepermukaan, semua itu hanya akan dianggap sebagai angin lalu….itulah Sumbawa kawan…Perubahan mungkin akan datang di Sumbawa ketika Sang Maha Pencipta sudah muak dengan perilaku pemimpin Sumbawa. Do’a kolektif dari rakyat jelata yang dikorbankan akan mempercepat perubahan yang diimpikan. Senjata terakhir itu hanyalah doa dan itu akan mencerminkan masih pedulinya kita terhadap masa depan Sumbawa.
Ada rasa frustasi yang dilahirkan dari kondisi saat ini di Sumbawa, dalam terawang sahabat imaginerku berceloteh “Mungkin lebih baik, pemimpin Sumbawa mendatang bukan dari etnis Sumbawa”. aku menimpali “kamu jangan bermimpi lagi, jangankan dari luar etnis Sumbawa, yang duduk saat ini saja tidak akan rela digantikan lagi. Malah sangat puas dengan politik onaninya yang menganggap apa yang dikerjakan selama 3 tahun terakhir ini menampakkan keberhasilan luar biasa”. Nauzubillah……..kaca mata apa yang dipakai sehingga pemimpin ini beranggapan demikian.
“Apa kamu tidak akan menjadi gila dengan kritikmu yang hanya dianggap pepesan kosong” dia komentar lagi. “Perubahan akan dicapai jika ada yang berkorban, status quo akan menguat jika semua ABS, menjadi korban mungkin sudah menjadi garis hidup dan itu resiko bagi yang oposan. Sumbawa tidak akan keluar dari krisis moral jika semuanya membenarkan ketimpangan yang terjadi, dan aku akan menjadi bagian yang tidak membenarkan tersebut”.
Pembangunan tidak akan berarti jika dibangun atas kemunafikan pemimpinnya, karena yang sulit dihilangkan dari sisa pembangunan tersebut adalah sikap dan mentalitas yang telah ditancapkan oleh pemimpin sebelumnya. Kita tidak bisa menghancurkan monumen mentalitas bobrok itu dalam hitungan hari, mungkin dalam beberapa generasi hasilnya baru dapat dirasakan. Bisa jadi itu akan menjadi warisan dosa yang wajib dipertanggungjawabkan oleh Bupati saat ini.

Bandung, October 1, 2002
Arif Hidayat

0 komentar:

:)) ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} :)] ~x( :-t b-( :-L x( =))

Posting Komentar

Terima Kasih Tas Komentar Anda

 

Artikel Terkait


© Copyright 2008. www.arifhidayat.com. All rightsreserved | www.arifhidayat.com is proudly powered by Blogger.com | Template by o-om.com